Image placeholder

Data tentang pembayaran oleh perusahaan minyak internasional kepada pemerintah Indonesia menunjukkan adanya “celah transparansi” (transparency gap) dan praktik korporasi yang buruk

  • News from NRGI

  • 18 December 2019

 [This is a joint release from the Natural Resource Governance Institute and Publish What You Pay Indonesia]

Hasil penelitian menunjukkan adanya tantangan terkait transparansi atas bonus yang dibayarkan oleh perusahaan migas internasional

  • ExxonMobil menolak untuk membuka laporan pembayaran terbaru mereka meskipun telah menyatakan dukungannya terhadap sebuah inisiatif transparansi industri ekstraktif
  • Masyarakat di Indonesia bisa menggunakan informasi pembayaran ini untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah
 
JAKARTA, 18 Desember 2019— Sebuah laporan penelitian terbaru menunjukkan adanya celah transparansi (transparency gap) dan praktik korporasi yang buruk berkaitan dengan pembayaran yang dilakukan perusahaan minyak dan gas (migas) internasional kepada pemerintah Indonesia.
 
Penelitian yang dilakukan Natural Resource Governance Institute (NRGI) dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menemukan bahwa beberapa perusahaan minyak internasional membayarkan kewajiban bonusnya tidak langsung ke kas negara (Kementerian Keuangan), melainkan membayarkannya ke Direktorat Jendral Minyak dan Gas (Ditjen Migas) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal tersebut bertentangan dengan Permen ESDM 30/2017.
 
Data pembayaran perusahaan minyak kepada entitas pemerintah sendiri dipublikasikan agar masyarakat bisa mengetahui ke mana uang itu mengalir. Jika uang yang seharusnya ditujukan untuk kas negara justru dibayarkan lewat kementerian lain, maka penelusuran dana tersebut menjadi lebih sulit, disamping juga mengabaikan standar transparansi internasional.
 
Joseph Williams, Advocacy Manager NRGI, mengatakan:
 
“Walaupun kita mengerti bahwa praktik seperti ini dibolehkan pemerintah, hal tersebut menimbulkan celah transparansi yang mengkhawatirkan. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas harus mengklarifikasi mengapa mereka menugaskan perusahaan minyak Italia, ENI, untuk mentransfer bonus tanda tangan sebesar US$1,5 juta untuk PSC East Ganal ke rekening bank Ditjen Migas, bukan langsung ke kas negara. Pemerintah juga harus mengklarifikasi bagaimana pendapatan seperti ini dikelola dan ditransfer ke kas negara.”
 
Penulis laporan penelitian yang berjudul Indonesia’s Oil and Gas Revenues: Using Payments to Governments Data for Accountability ini telah meneliti data-data yang dibuka perusahaan kepada publik sebagai akibat dari diberlakukannya peraturan perundang-undangan di Uni Eropa, Kanada dan Norwegia terkait keterbukaan “payments-to-governments” (pembayaran ke pemerintah) yang dirancang untuk meningkatkan transparansi di negara kaya sumber daya alam.
 
Sejak tahun 2014, sebanyak 17 perusahaan migas internasional telah membuka data pembayaran mereka kepada pemerintah Indonesia dengan total nilai lebih dari US$15 miliar. Sementara, pada 2018, total nilai data pembayaran 10 perusahaan migas kepada pemerintah Indonesia mencapai US$5,4 miliar.
 
NRGI dan PWYP Indonesia juga mengungkapkan bahwa perusahaan yang terdaftar di AS, yaitu ExxonMobil, menolak membuka data pembayaran mereka kepada pemerintah Indonesia untuk tahun 2017 dan 2018. ConocoPhillips juga belum mempublikasikan data pembayarannya, sehingga pendapatan dari migas untuk 2018 seharusnya lebih besar lagi. Masyarakat hanya bisa mengakses data pembayaran dua perusahaan tersebut untuk tahun 2016.
 
Emanuel Bria, Indonesia Country Manager NRGI, mengatakan:
 
“Patut disayangkan bahwa ExxonMobil dan ConocoPhillips yang mengklaim diri sebagai pendukung standar transparansi global justru ingkar memberikan masyarakat Indonesia haknya untuk mendapatkan informasi tersebut. Padahal, masyarakat berhak mengetahui berapa uang yang telah dibayarkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Mereka harus bisa menelusuri aliran dana tersebut.”
 
Meskipun tidak ada peraturan hukum yang mewajibkan ExxonMobil dan ConocoPhillips mempublikasikan data pembayaran mereka, dua perusahaan tersebut merupakan pendukung resmi dari Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). ExxonMobil pernah duduk di dewan EITI, baik sebagai anggota tetap maupun tidak tetap, sejak inisiatif internasional tersebut dimulai. EITI sendiri dengan jelas menyatakan bahwa perusahaan harus secara sistematis membuka semua data pembayarannya kepada negara-negara yang mengimplementasikan inisiatif ini, termasuk Indonesia.
 
Joseph Williams, Advocacy Manager NRGI, mengatakan:
 
“Banyak perusahaan ingin mendapatkan nilai public relations dengan ikut serta di gerakan transparansi global seperti ini, tapi ketika saatnya bertindak beberapa perusahaan AS seperti ExxonMobil dan CononoPhillips tidak melakukannya. Perusahaan-perusahaan yang mendukung dan duduk di dewan EITI sudah seharusnya menjadi pemimpin dalam hal transparansi, bukan justru tertinggal. Mereka harus membuka data pembayaran mereka.”
 
Pada tanggal 18 Desember 2019, Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) Amerika Serikat (AS) akan mengajukan peraturan baru yang akan mendorong perusahaan minyak, gas dan tambang AS membuka seluruh data pembayaran terbaru mereka ke semua negara. Peraturan sebelumnya yang dibatalkan oleh Kongres di awal tahun 2017 seharusnya menjadi peraturan pelaksana dari Section 1504 dari undang-undang Dodd Frank 2010.
 
“Jika perusahaan seperti ExxonMobil dan ConocoPhillips tidak mau membuka data pembayaran mereka meski mengklaim mendukung EITI, maka hanya peraturan kuat dari SEC-lah yang bisa menjadi solusi,” kata Williams. “Peraturan SEC baru ini harus merujuk dan sejalan dengan peraturan hukum yang sama yang ada di Eropa dan Kanada – yang artinya ada kewajiban untuk membuka informasi pembayaran secara rinci dan tepat waktu dari semua perusahaan dan setiap proyek mereka.”
 
Terbitnya laporan penelitian ini dan proses pembentukan peraturan dari SEC AS terjadi saat sektor migas Indonesia sedang mengalami transformasi besar. Pada 2017, Indonesia mengumumkan mengganti model production sharing contract (PSC) cost recovery yang telah digunakan selama lebih dari 50 tahun ke model PSC gross split. Model PSC gross split merujuk pada bagian produksi pemerintah atas sebuah proyek akan didasarkan pada pendapatan kotor proyek dan bukan laba yang dihasilkan. Lantas, pada 2018, pemerintah menghapus batas atas $250 juta untuk bonus tanda tangan PSC baru.
 
Aryanto Nugroho, Advocacy and Program Development Manager, PWYP Indonesia, mengatakan:
 
“Bonus tanpa batas atas ini berarti ada potensi pendapatan negara yang besar untuk masyarakat Indonesia, tetapi ini juga berarti bahwa transparansi dan pengawasan terhadap hal tersebut menjadi lebih penting.”
 
Laporan penelitian ini menjelaskan bagaimana perubahan besar di sektor migas ini harus dibarengi dengan peningkatan dalam hal pengawasan pendapatannya, dan bagaimana media, kelompok masyarakat sipil, dan aktor lain bisa menggunakan data ini dengan sebaik mungkin untuk meminta pertanggungjawaban dari pemerintah.
 
Aktivis bisa menggunakan data pembayaran ini untuk memverifikasi jumlah dan lembaga yang menerima bonus tanda tangan dari suatu proyek migas. Mereka juga dapat memprediksi dan memverifikasi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima oleh pemerintah daerah dari suatu proyek. Laporan penelitian NRGI dan PWYP Indonesia juga merinci bagaimana masyarakat bisa mengestimasi dan memverifikasi bagian produksi pemerintah dari proyek migas di bawah model PSC gross split yang baru.
 
Laporan penelitian ini bisa dilihat di situs web NRGI: www.resourcegovernance.org/analysis-tools/publications/indonesia-oil-gas-revenues-payments

[Dengan menyesal NRGI menyampaikan bahwa terdapat kesalahan dalam penerjemahan kutipan Emanuel Bria di versi asli siaran pers ini. Kesalahan tersebut telah diperbaiki.]

 
Catatan:
 
 
Sementara ConocoPhillips belum mempublikasikan data pembayaran mereka ke pemerintah Indonesia untuk 2017 dan 2018, NRGI sedang dalam proses dialog dengan perusahaan terkait masalah tersebut.
 
 
NRGI mengelola basis data (database) laporan pembayaran yang dibuat oleh perusahaan berdasarkan kewajiban dari peraturan di Eropa dan Kanada, termasuk juga semua data pembayaran yang ada di laporan penelitian ini. Informasi ini telah dikonversi menjadi data terbuka dan bisa diakses di www.resourceprojects.org.
 
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Fikri Muhammadi
Asia-Pacific Associate
Natural Resource Governance Institute (NRGI)
Jakarta
fmuhammadi@resourcegovernance.org
+62 8118708207
 
Aryanto Nugroho
Advocacy and Program Development Manager
Publish What You Pay Indonesia
Jakarta
aryanto@pwypindonesia.org
+62 81326608343
 
Lee Bailey
Communications Director
Natural Resource Governance Institute (NRGI)
London
lbailey@resourcegovernance.org
+44 (0)7823 442 954 
 
 
Countries
Indonesia
Regions
Asia-Pacific